Jakarta, Metro24.co.id – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan konsep kepemimpinan digital sangat penting untuk diterapkan dalam pemerintahan. Tujuannya, untuk meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan transparansi, dan meningkatkan efisiensi operasional pemerintahan. Para pemimpin pemerintahan harus merumuskan strategi digital secara komprehensif yang di dalamnya terdapat tujuan, prioritas, dan inisiatif untuk memanfaatkan teknologi informasi. Sehingga, dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Strategi ini harus selaras dengan misi dan visi pemerintah yang lebih luas.
Indonesia tidak boleh ketingalan. Beberapa negara telah memulai membangun kota metaverse sebagai sarana pelayanan publik. Kota-kota itu antara lain Seoul, Korea Selatan, Dubai, Singapura, Santa Monica, California Amerika Serikat.
“Penggunaan teknologi informasi juga akan memudahkan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan data untuk membuat keputusan yang tepat. Analisis data dapat membantu mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan, melacak kinerja, dan mengalokasikan sumber daya dengan lebih efektif. Apalagi makin kedepan teknologi algoritma semakin canggih untuk merekam berbagai peristiwa melalui berbagai platform media sosial,” ujar Bamsoet saat menjadi pembicara Seminar Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) ke-24 Lemhannas RI bertema “Peta Jalan Kepemimpinan Digital dalam Mewujudkan Visi Konsolidasi Demokrasi”, di Jakarta, Selasa (3/10/23).
Hadir antara lain Gubernur LEMHANNAS Andi Widjadjanto, Ketua Senat Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) ke-24 Lemhannas RI Brigjen Pol Chaidir serta para peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) ke-24 Lemhannas RI
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, kepemimpinan digital telah terbukti mempermudah peningkatan public services melalui saluran-saluran modern. Hal ini mencakup pembuatan situs web dan aplikasi seluler yang mudah digunakan, memungkinkan permintaan dan transaksi layanan online, serta menawarkan opsi layanan mandiri digital bagi masyarakat.
“Tapi di sisi lain, ada tuntutan akan transparansi dan keterbukaan data. Digital leadership pasti akan berhadapan dengan digital society yang biasanya beberapa langkah lebih maju. Ada tuntutan akan transparansi terhadap data dan informasi pemerintahan. Untuk memenuhi tuntutan itu, telah banyak pemimpin pemerintahan modern yang dapat membuat portal data terbuka, mempublikasikan data pengeluaran pemerintah, dan memberikan akses kepada masyarakat terhadap catatan publik,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, seharusnya juga Indonesia sudah mulai berani menerapkan Pemilu Digital yang lebih efisien, murah, mudah dan cepat. Ada tiga jenis e-voting, antara laib optical scanning, direct recording dan internet voting.
“Optical scanning atau optical scan voting menggunakan balot kertas yang diberikan tanda oleh pemilihnya. Kertas tersebut kemudian masuk ke mesin scan untuk dihitung secara digital. Sistem ini mirip seperti cara memilih konvensional yang diterapkan di Indonesia. Bedanya, penghitungan suara dilakukan dengan mesin sehingga hasil suara lebih cepat keluar. Lalu direct recording dan internet voting sudah tidak lagi menggunakan kertas suara. Semua proses pemilihan dilakukan secara digital, mulai dari perekaman suara, penyimpanan, dan penghitungan,” jelas Bamsoet.
Beberapa negara, tambah Bamsoet yang menggunakan e-voting antara lain, Kanada sejak tahun 1990an. Lalu Estonia, Belanda, Jerman dan Filipina. Namun Belanda dan Jerman gagal dan tidak melanjutkan sistem tersebut rawan diretas. Contoh yang berhasil adalah Filipina yang hingga kini terus menggunakan Automated Election System (AES) dan mendapat perhatian dunia.
ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD ini menjelaskan, portal digital juga telah banyak difungsikan sebagai platform digital untuk berinteraksi dengan masyarakat, mengumpulkan masukan, dan melibatkan mereka dalam proses pembuatan kebijakan. Media sosial, forum online, dan inovasi seperti “balai kota virtual” telah kerap digunakan sebagai alat yang efektif untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan modern.
“Ini semua harus terus ditingkatkan, khususnya untuk memastikan bahwa layanan digital dapat diakses oleh semua warga negara. Termasuk penyandang disabilitas dan masyarakat pinggiran. Hal ini memerlukan penguatan infrastruktur layanan digital dengan mempertimbangkan aksesibilitas dan penyediaan program literasi digital,” urai Bamsoet.
Dosen Pembaharuan Hukum Nasional dan Politik Hukum pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur ini menambahkan, patut disyukuri bahwa menurut hasil survei Kementerian KOMINFO dan Katadata Insight Center, status literasi digital Indonesia pada periode tahun 2020 hingga 2022 terus mengalami peningkatan. Berturut-turut dari 3,46 poin, naik menjadi 3,49 poin, dan kembali naik menjadi 3,54 poin. Di sisi lain, INDEF menilai saat ini tingkat literasi Indonesia masih berada pada kisaran 62 persen. Paling rendah jika dibandingkan negara-negara lain di ASEAN yang rata-rata sudah mencapai 70 persen.
“Menyikapi kondisi ini, pemerintah tidak perlu ragu untuk berinvestasi dalam peningkatan kapasitas aparatur negara, guna memastikan mereka memiliki keterampilan digital yang diperlukan untuk bekerja secara efektif di era modern. Pada saat yang sama, perlu juga diperhatikan keamanan siber dan privasi data untuk melindungi informasi sensitif pemerintah dan data warga negara. Kepemimpinan digital harus dibarengi dengan pengembangan kebijakan keamanan siber yang kuat, audit keamanan secara berkala dan penguatan kapasitas aparatur negara tentang praktik terbaik keamanan siber,” pungkas Bamsoet memberi keterangan kepada awak media… (Red)