News  

Pemilik Toko Obat Yang Diduga Ilegal Arogan Terhadap Wartawan, APH Harus Menindak

Metro24, Jakarta – Pada saat media online menjalankan tugas pada bulan Awal Oktober ke toko obat yang diduga ilegal, Ada jejak pelayanan penjual obat bersikap arogansi terhadap wartawan.

Setiba di tempat awak media, pemilik atau penjual obat justru semakin kuat ada dugaan ilegal akibat sikap dan pelayanan yang kurang senonoh.

Penghasilan jual obat ilegal satu butir kepada pembeli bentuk tablet ukurab kecil dengan harga 20.000 rupiah/perbutir dan total penghasil an jual obat ilegal tersebut meraup keuntungan cukup fantasis perbulan maupun pertahun dalam sorotan liputan awak media bahwa toko obat tersebut dikunjungi satu hari diprediksi kurang lebih antara 15 orang hingga 35 orang.

Pelayanan operasional penjual obat ilegal dalam keterangan yang dihimpin oleh awak media diprediksui kadang kadang pada pukul 10:00 pagi dan pada pukul 13 : an siang.”

Aturan Peredaran Obat,
Jika melihat aturan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.[1]

Obat menurut Pasal 1 angka 8 UU Kesehatan didefinisikan sebagai berikut:

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.

Sediaan farmasi harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. [2] Sediaan farmasi hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.[3]

Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[4]

Obat yang Mengandung Karisoprodol
Pertama-tama kami asumsikan bahwa obat PCC yang Anda maksud adalah yang mengandung Paracetamol, Carisoprodol, dan Cafein.

Berdasarkan Siaran Pers Badan POM Perang terhadap Penyalahgunaan Obat dan Obat Ilegal yang kami akses melalui laman Badan POM, paracetamol baik sebagai sediaan tunggal maupun kombinasi bersama Cafein saat ini masih diperbolehkan untuk penggunaan terapi.

Sementara Carisoprodol merupakan bahan baku obat yang memberi efek relaksasi otot dengan efek samping sedatif dan euforia. Pada dosis yang lebih tinggi dari dosis terapi, Carisoprodol dapat menyebabkan kejang dan halusinasi, serta efek lainnya yang membahayakan kesehatan hingga kematian.

Pada tahun 2013, melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.04.1.35.06.13.3535 Tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat yang Mengandung Karisoprodol (“Keputusan BPOM No.HK.04.1.35.06.13.3535”) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.HK.04.1.35.07.13.3856 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.04.1.35.06.13.3535 Tahun 2013 tanggal 27 Juni 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat yang Mengandung Karisoprodol (“Keputusan BPOM No.HK.04.1.35.07.13.3856”) izin edar obat yang mengandung Karisoprodol dibatalkan.

Baca Juga :  Ormas Grib Jaya Geruduk Polsek Batang Gansal, berikan dukungan moral terhadap Rakyat Kecil

Obat yang dibatalkan tersebut dalam Lampiran Keputusan BPOM No.HK.04.1.35.06.13.3535 disebutkan yaitu Somadril Compositum, New Skelan, Carsipain, Carminofein, Etacarphen, Cazerol, dan Bimacarphen. Terdapat penambahan juga dalam Lampiran Keputusan BPOM No.HK.04.1.35.07.13.3856 yaitu Karnomed.

Keputusan BPOM tersebut juga memerintahkan kepada industri farmasi pemegang izin edar obat yang mengandung Karisoprodol untuk:[5]
Mengembalikan surat persetujuan izin edar kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan;
Menghentikan kegiatan produksi dan distribusi;
Menarik dari peredaran;


Memusnahkan;
Produk hasil penarikan dari peredaran;
Produk antara, produk ruahan, produk jadi, dan bahan pengemas yang berada di industri farmasi.


Melaporkan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan cq. Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif jumlah bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan, produk jadi obat yang mengandung Karisoprodol, serta hasil penarikan dan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada angka 2, angka 3, dan angka 4 selambat-lambatnya tanggal 30 September 2013.


Bagi pedagang besar farmasi penyalur bahan baku obat yang memiliki bahan baku Karisoprodol diminta untuk melakukan pemusnahan atau reekspor bahan baku tersebut dan melaporkan pelaksanaannya selambat-lambatnya tanggal 30 September 2013 dengan melampirkan dokumen pendukung kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan cq. Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif.

Jika melihat kepada penjelasan di atas, obat PCC dapat disebut sebagai obat ilegal karena salah satu kandungannya, yaitu Karisoprodol membahayakan kesehatan hingga izin edar obat yang mengandung Karisoprodol ditarik pada tahun 2013.

Selain itu pada tahun 2018 melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, Karisoprodol ditetapkan sebagai jenis narkotika baru yang termasuk pada jenis narkotika golongan I.[6]

Narkotika golongan I menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Penting untuk diketahui, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[7]

Tetapi terdapat pengecualiannya, yaitu untuk narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.[8]

Baca Juga :  Polisi Ungkap Motif Pembunuhan Anak 5 Tahun di Cilegon

Penjelasan selengkapnya mengenai jenis dan golongan narkotika Anda dapat simak dalam artikel Ini Aturan tentang Penggolongan Narkotika di Indonesia.

Sanksi Menjual Obat Ilegal
Menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, tenaga kefarmasian yang menjual obat ilegal (tanpa izin edar), dalam hal ini adalah PCC, dapat dijerat dengan Pasal 197 UU Kesehatan sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Selain itu, oleh karena Karisoprodol termasuk narkotika golongan I, maka tenaga kefarmasian juga dapat dijerat berdasarkan Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika sebagai berikut:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Sanksi Bagi Apotek
Disamping itu, apotek berdasarkan Pasal 1 angka 74 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan (“Permenkes 26/2018”) merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apotek diselenggarakan oleh pelaku usaha perseorangan, yaitu apoteker.[9]

Dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek (“Permenkes 9/2017”) apotek menyelenggarakan fungsi:
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan
pelayanan farmasi klinik, termasuk di komunitas.

Izin pendirian apotek didapatkan dari Menteri Kesehatan yang berupa Surat Izin Apotek (“SIA”).[10]

Perlu dipahami bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.[11]

Setiap apoteker dan tenaga teknis kefarmasian harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan kepentingan pasien.

[12] Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di apotek harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.[13]

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Permenkes 9/2017 dapat dikenai sanksi administratif berupa:[14]
peringatan tertulis;
penghentian sementara kegiatan; dan
pencabutan SIA.

Baca Juga :  Akibat Teroran Pinjol, Pengamat Hukum: Minta KPPU Tegur Perusahaan Pinjol dan AFPI Bisa Tertibkan Bunga

Jadi apabila apotek menjual obat PCC yang merupakan obat yang dilarang peredarannya karena mengandung Karisoprodol yang dapat membahayakan kesehatan.

Maka apotek tersebut dapat dikatakan melakukan pelanggaran karena telah menyediakan sediaan farmasi yang tidak aman, oleh karena itu dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dijelaskan di atas.

Informasi lebih lanjut Anda dapat simak artikel Surat Izin Praktik dan Surat Izin Kerja Apoteker.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek;


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika;
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

No.HK.04.1.35.06.13.3535 Tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat yang Mengandung Karisoprodol sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.HK.04.1.35.07.13.3856 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.04.1.35.06.13.3535 Tahun 2013 tanggal 27 Juni 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat yang Mengandung Karisoprodol

Referensi:
Siaran Pers Badan POM Perang terhadap Penyalahgunaan Obat dan Obat Ilegal, diakses pada tanggal 21 Februari 2019, pukul 14.30 WIB.

[1] Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan
[2] Pasal 98 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan
[3] Pasal 106 ayat (1) UU Kesehatan
[4] Pasal 106 ayat (3) UU Kesehatan
[5] Poin Kedua Keputusan BPOM No.HK.04.1.35.06.13.3535 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan BPOM No.HK.04.1.35.07.13.3856
[6] Lampiran Permenkes 50/2018 Bagaian Daftar Narkotika Golongan I Nomor 145
[7] Pasal 7 UU Narkotika
[8] Pasal 8 UU Narkotika
[9] Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Permenkes 26/2018
[10] Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) jo. Pasal 1 angka 19 Permenkes 9/2017
[11] Pasal 1 angka 3 Permenkes 9/2017
[12] Pasal 19 Permenkes 9/2017
[13] Pasal 20 Permenkes 9/2017
[14] Pasal 31 Permenkes 9/2017.”
(Ranto,)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *