Metro24, Jakarta – Demokrasi desa menurut Hatta terilhami dari adat Minangkabau yang karena itu pada saat ia menafsikan sila ke-IV Pancasila yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”
Berarti rakyat yang mampu memikul tanggung jawab seharusnya dipimpin oleh kebenaran agama, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh ulama dan cerdik pandai. Selanjutnya, “…. dalam permusyawaratan atau perwakilan”, hendaknya ditafsirkan sebagai proses pengambilan keputusan dari pemerintah desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi hingga pemerintah pusat
Konsep dan semangat Bung Hatta yang merajut semangat kolektivisme (kebersamaan0 dari Tingkat desa adalah konsep genuine (Asli) pemikiran para Founding Father Bangs aini, semangat yang sama
Adalah praktik plebisit juga pernah dilaksanakan oleh Sultan Hamengkubuwono IX (Kahin: 2013) untuk memilih perangkat desa yang melibatkan masyarakat sipil yang berusia di atas 18 tahun. Perubahan pemilihan pejabat pedesaan ini dinilai paling penting sebab semakin ditiru dihampir seluruh wilayah jawa dan di tempat lain dengan berbagai variasi dan adaptasi menyesuaikan dengan keadan setempat.
Selain itu perubahan plebisit ini lebih demokratis dibandingkan dengan rezim kolonial mengizinkan agar kepala desa dipilih oleh rakyat; dia kemudian menunjuk pejabat-pejabatnya. Hak suara dibatasi pada pemilik tanah saja. Dengan sistem Hamengkubuwono IX, majelis desa dipilih oleh perwakilan kelompok yang masing-masing terdiri atas empat atau lima keluarga.
Majelis desa ini (berjumlah 400 anggota) kemudian memilih dewan perwakilan rakyat yang memiliki 30 anggota. Rasionalisasi pemerintahan secara umum tercapai dengan penggabungan desa- desa kecil sehingga terjadi pemusatan sumber daya desa; pendidikan, irigasi, peminjaman dan koperasi dapat dimanfaatkan lebih efektif, hingga mampu mensubsidi desa-desa lainnya dengan pengembalian modal untuk memperkuat industri desa.
Lurah Rawa Badak Selatan Bpk Yuyun Wahyudi dan ketua PPC LMK RBS Bpk.. Anto S menghadiri pemilihan LMK RW 02, Kel Rawa Badak Selatan
Konsep yang sama di adopsi di jaman sekarang dengan Pembentukan Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), Lembaga Masyarakat Kota (LMK) merupakan institusi demokrasi yang dibangun di DKI sebagai wadah tempat berhimpunnya para tokoh untuk menampung aspirasi masyarakat di tingkat kota madya dalam upaya mewujudkan jargon pembangunan bahwa
“pembangunan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.” Ungkapan tersebut, walaupun tidak sering diucapkan sekarang, namun masih amat relevan karena sejatinya pembangunan harus dilaksanakan dari bawah, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pembangunan yang bermula dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dalam implementasinya masih memerlukan perjuangan yang panjang, karena pembangunan dari atas dan bersifat “top down,” tidak mudah dihilangkan karena sudah berakar sejak era Orde Baru, pada hal sudah jelas mengabaikan hakikat dan tujuan pembangunan.
Sejak era Orde Reformasi (1998-sekarang), perencanaan pembangunan yang berbasis kepada kebutuhan masyarakat semakin mendapat tempat. Melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) mulai dari bawah yaitu dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi sampai pusat, dilakukan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Proses perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up), terus dikembangkan dan dilaksanakan.
Di DKI Jakarta proses perencanaan dan pembangunan dari bawah semakin diberi ruang yang baik dengan didirikannya Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) yang semula dinamakan Dewan Kelurahan (Dekel) pada tingkat kelurahan, kemudian diperluas pada tingkat kota madya dengan dibentuknya Lembaga Masyarakat Kota (LMK).
Regulasi tentang Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) adalah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 2010. LMK merupakan pengganti dari Dewan Kelurahan.
Untuk mewujudkan LMK yang lebih efektif dan efisien, telah ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010.
Berdirinya Lembaga ini merupakan bentuk pemberian legitimasi dari pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta bahwa aspirasi masyarakat sangat penting dalam pembangunan, sehingga perlu diberi wadah. Supaya para tokoh masyarakat yang dipilih sebagai representasi dari masyarakat, mudah bergerak untuk menjangkau tiap rumah dalam lingkungan RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan, maka disediakan anggaran tiap bulan untuk honor atau dana operasional.
Tugas LMK ialah:
- Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat pada Lurah/Walikota.
- Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan partisipasi.
- Menggali potensi untuk menggerakkan dan mendorong peran masyarakat.
- Ikut serta dalam menyelesaikan masalah kota.
- Menginformasikan kebijakan Pemda dan
- Membuat rencana tahunan.
Fungsi LMK ialah:
- Mendengarkan aspirasi masyarakat.
- Memformulasikan apa yang didengar menjadi program.
Mendengar aspirasi masyarakat merupakan suatu tugas mulia. Untuk itu, anggota LMK harus rajin menjemput bola dengan terjun langsung ke lingkungan masyarakat tempat berdomisili.
Dengan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, mereka bisa menjembatani keperluan masyarakat, sehingga menjadi penyambung lidah masyarakat dengan pemerintah (eksekutif) di tingkat paling bawah dan kota. Selain itu, anggota LMK harus pula bisa berdialog, memberi kesadaran dan pencerahan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya.
Tindak lanjut (follow up) dari pendengar, melihat dan ber-dialog dengan masyarakat, maka para tokoh masyarakat yang menjadi anggota LMK, harus bisa bersama menformulasikannya menjadi program dan diperjuangkan perwujudannya. Dengan fungsi seperti itu, maka LMK tidak bisa diserupakan sebagai parlemen mini yang berfungsi mengontrol kelurahan atau Walikota. Itu sebabnya namanya disebut LMK untuk menghilangkan salah persepsi, sehingga tidak berkonotasi sebagai legislatif di tingkat Kota atau kelurahan.
Sebagai Praktisi hukum, yang bersentuhan erat dengan perwujudan prinsip-prinsip keadilan dan penegakan demokrasi saya mendukung penuh konsep Lembaga Musyawarah Kelurahan ini menjadi pilar Masyarakat untuk mewujudkan demokrasi aspirasi Masyarakat yang berkonsep Bottom-up , aspirasi demokrasi Masyarakat untuk kemajuan Jakarta, dan jika semangat ini terus di pupuk niscaya akan demokrasi kolektf dari Masyarakat desa (baca : level RT/RW) menjadi pilar penguat demokrasi nasional.
“Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator.”(Mohammad Hatta.)
By : M. Arief, SH